Monday, August 15, 2022

Ketika di Roma (2/2)

Jalan Romawi kuno melintasi bentang alam, dari Skotlandia hingga Mesopotamia, Rumania hingga Sahara. Dan jalan Romawi paling awal dibangun untuk menghubungkan kota di Tiber dengan kota-kota lain di Semenanjung Italia.

Uniknya, semua jalan ini mengarah ke Roma. Bahkan Via Appia sebagai salah satu jalan yang dibangun Appius Claudius, yang merupakan pekerjaan besar. Namun, kualitasnya baik selama berabad-abad sehingga penyair Romawi abad pertama, Statius menyebut “longarum regina viarum”(ratu jalan panjang), atau sejarawan Bizantium abad ke-6, Procopius, memuji teknik pembuatannya, dengan mengatakan: “Ini adalah pencapaian yang luar biasa. Batu-batu harus diangkut dari tempat yang jauh, dihaluskan, dipotong menjadi bentuk-bentuk sudut” (Nationalgeographic.co.id, 21/3/2022).

Artinya, tidak ada suatu usaha besar yang digapai dengan proses yang instan, tetapi butuh ketekunan, kesetiaan, baik pikiran dan tenaga untuk melakukannya, tentu akan mendatangkan manfaat yang luar biasa, seperti peradaban Roma.

Demikian halnya, ketika di Roma, lakukan seperti orang Romawi. Artinya, saat berada di mana pun, hormati adat istiadat setempat, beradaptasi dengan budaya dan kebiasaan sekitar Anda. Seperti Paolo Ottolino, seorang Italia yang mencontohkan tentang kebiasaan tumpangi kendaraan (angkutan umum) di Inggris. “Di Inggris kami dikenal mengantri (untuk bus dll) daripada mendorong untuk naik duluan. Kami naik pintu depan dan turun di pintu belakang, menghormati tuan rumah dan tradisi dan budaya lokal.”

Pepatah berbahasa Inggris sekitar tahun 1530 ini merupakan jawaban Santo Ambrosius kepada Santo Agustinus ketika ditanya apakah mereka berpuasa pada hari Sabtu seperti orang Romawi atau tidak, seperti di Milan. Untuk mengungkapkan pengertian dan toleransi, serta saran yang baik untuk umum dan diambil ketika Anda mengunjungi tempat baru. Itu selalu yang terbaik untuk bertindak sesuai kebiasaan setempat, dan menghindari kemungkinan membuat kesal atau menyinggung seseorang secara tidak sengaja.

Misalnya, Anda berada di Spanyol, Anda harus hidup seperti orang Spanyol, Anda harus makan makanan orang Spanyol, jika Anda tidak menyesuaikan diri dengan makanan Spanyol, Anda akan kelaparan. Atau Anda tidak makan nasi, tetapi ketika Anda berada di Jepang atau Indonesia, Anda harus makan nasi. Sama halnya, jika Anda tidak makan sagu, tetapi ketika Anda bepergian ke sejumlah tempat di pedalaman Papua, Anda harus makan sagu.

Pepatah ini merujuk juga bagaimana orang Kristen yang bepergian ke dunia kuno sampai ke Roma dan menyadari bahwa mereka memiliki praktik keagamaan yang berbeda, tetapi masih menyebut diri mereka Kristen. Maka ini muncul sebagai cara untuk mengatakan, jika Anda berada di Roma, berdoalah seperti orang Romawi dan ketika Anda di rumah berdoalah dengan cara Anda sendiri.

Artinya bahwa ketika Anda berada di lingkungan baru yang tidak dikenal, Anda harus mencoba mengikuti kebiasaan setempat. Atau ketika Anda mengunjungi suatu tempat, jangan bersikeras bahwa cara dan kebiasaan Anda adalah yang terbaik dan lalu menghina budaya dan tradisi mereka. Tetapi yang terbaik adalah hormati cara mereka dan amati mereka (di mana tempat Anda mengunjungi).

Pada pertemuan orang muda Katolik sedunia (dihadiri ribuan orang muda dari 155 negara) di Panama, 27 Januari 2019, Paus Fransiskus berpesan kepada orang muda untuk tidak melupakan tradisi dan budaya asal atau yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Menurutnya, tradisi dan budaya adalah akar kehidupan manusia. Ibarat sebuah pohon tumbuh besar karena memperoleh makanan melalui akar, tanpa akar pohon takkan hidup.

Pada hakikatnya semua manusia di bumi adalah pendatang atau pengunjung (orang asing), maka setiap manusia wajib mengasihi, menghormati, melindungi, dan merawat semua ciptaan Allah di bumi dan dapat dipergunakan sesuai kebutuhan (secukupnya), bukan menurut kemauan atau keserakahan setiap kita, apalagi saling memonopoli hak setiap orang, itu tidak dapat dibenarkan.

Karena itu, ke mana pun pergi, hal yang lebih penting adalah mengetahui, memahami, menghormati, dan menyesuaikan diri dengan adat, tradisi, atau budaya setempat. Ini sama dengan pepatah Melayu, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

Bahkan sebelumnya, dikatakan Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), filsuf, orator, pengacara, dan negarawan Romawi, Ubi ius, ibi societas (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum atau kebiasaan). Cicero juga mempopulerkan ungkapan pujangga Romawi bernasib malang Marcus Pacuvius (220-130 SM) tentang cinta sejati akan tanah air: “Ubi bene, ibi patria”(di mana seseorang merasa betah, di situlah tanah airnya).

Papua

Apakah adagium “Ketika di Roma, lakukan seperti orang Romawi lakukan” ini diketahui dan dilaksanakan oleh misionaris dan zending ketika menyebarkan agama Kristen (Katolik dan Protestan) di Papua, termasuk penyebar agama Islam di bagian pesisir barat Papua (Kaimana, Fakfak, Raja Ampat, dan Sorong Selatan). Mereka bahkan diterima dan sukses menerapkan pendekatan antropologi di Tanah Papua yang memiliki sekitar 250 suku dan bahasa ini, untuk menyebarkan agama.

Misalnya, para misionaris (Katolik) dan zending (Protestan) harus beradaptasi dengan tradisi dan kebiasaan orang Papua (belajar bahasa daerah, makan sagu, ubi, daging babi, soa-soa, dan kanguru atau segala jenis makanan yang biasa dikonsumsi penduduk asli setempat).

Mereka bahkan makan makanan dari masakan bambu, kulit kayu, atau bakar batu, dengan beralaskan daun. Juga tidur di pondok, goa, honai, dan rumah kaki seribu.

Puluhan tahun mereka berjalan kaki dari kampung/dusun ke kampung, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni tebing dan menyusuri lembah, tanpa memikirkan malaria atau digigit lintah dan ular, demi membawa pesan kemanusiaan.

Misionaris tidak memaksakan perilaku, norma atau peradaban modern dari daerah atau negara asal mereka kepada orang Papua. Mereka tak punya misi untuk datang mendominasi dan memonopoli orang Papua di segala aspek kehidupan, mereka tidak berniat membuldozer segala hutan, termasuk membabat habis hutan sagu dan hutan primer yang menjadi warisan penting bagi masa depan orang Papua atas nama mitos pembangunan nasional.

Mereka tidak memiliki tujuan mengeksploitasi tambang emas, tembaga, uranium, nikel, gas, dan segala kekayaan alam di Papua, mereka tidak membujuk atau menyogok orang Papua agar mengangkat dan mengakui mereka sebagai anak adat. Mereka tidak datang memakai senjata/pistol untuk menodong dan menembak orang Papua yang menentang misi mereka. Akan tetapi, mereka datang dengan misi agung, membawa pesan Injil.

Para misionaris dan zending datang mengabarkan Injil tentang nilai kebaikan dan cinta kasih kepada orang Papua. Mereka mengajarkan orang Papua agar bisa membedakan hal baik-buruk, benar-salah, dosa-tidak berdosa, dan hal profan-dunia akhirat. Mereka meratakan jalan cinta kasih dengan mengajarkan nilai kejujuran, kebenaran, kebebasan, persaudaraan, dan persamaan derajat serta martabat manusia Papua yang berakar pada Injil sebagai sumber segala pengetahuan tentang kebaikan dan kebenaran.

Mereka membantu membebaskan orang Papua dari kegelapan kepada terang, membawa orang Papua dari kegamangan dan kekhawatiran yang berkepanjangan ke sebuah kepastian dan harapan hidup sebagai manusia sejati. Mereka membebaskan orang Papua yang sekian abad diperbudak oleh kesempitan cinta: saling membenci, menyimpan amarah, dendam, saling menyiku, saling menyingkirkan, dan tidak saling memedulikan.

Kini hampir semua orang Papua sudah melihat terang Injil dan maju dalam derap pawai modernisasi – buah karya misionaris dan zending dengan pendekatan antropologi yang sangat mujarab dan membutuhkan waktu yang lama. Seperti pepatah, “Gutta cavat lapidem, non vi sed saepe cadendo”(titik air memecahkan batu, bukan karena kekuatannya yang dahsyat, tetapi karena tetesan yang terus-menerus).

Butuh kesungguhan, ketulusan, kesetiaan, dan komitmen besar yang berlandaskan pada semangat cinta kasih dan panggilan untuk merasul secara total, bukan sebuah proses yang instan seperti memberi pelatihan atau pendidikan hak asasi manusia (HAM) sehari kepada para prajurit, untuk menangani aksi pawai atau demonstrasi damai, yang kerap berujung ricuh, hingga terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM.

Maka, sudah saatnya, pendekatan antropologi menjadi model yang harus diterapkan di Papua, baik berupa regulasi, diskresi (kebijakan), maupun penegakan hukum yang berbasis pada tradisi dan budaya orang asli Papua.

Pendekatan ini menjadi pintu masuk untuk mengakhiri berbagai segregasi, termasuk problem kekerasan dan pelanggaran HAM di tanah Papua telah berlangsung lebih dari 50 tahun. Sebab pendekatan antropologi juga adalah pendekatan kemanusiaan.

Ini juga akan mengikis beragam stereotip dan stigma terhadap orang Papua (monyet, teroris, KKB, OPM, separatis, badaki, bodoh, dan terbelakang). Esensinya, semua kebijakan apa pun yang diluncurkan oleh pemerintah Indonesia di Papua harus sesuai dengan tradisi dan budaya orang Papua, misalnya, menghormati setiap keputusan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga representasi OAP (Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Dewat Adat Papua atau DAP yang memiliki perwakilan di 7 wilayah adat. Termasuk diberikan hak demokrasi kepada OAP untuk bermusyawarah dan bermufakat melalui para-para adat atau sistem noken tentang setiap kebijakan yang hendak dilakukan pemerintah.

Dengan cara itu, OAP akan merasa tradisi dan budayanya dihargai dan dihormati, maka tak ada lagi kata kecemburuan, kecurigaan, friksi, dan konflik, tetapi yang ada hanyalah cinta, persaudaraan, persamaan, dan persatuaan yang menjadi modal menuju “Indonesia Besar” yang dicita-citakan, sebagaimana sejarah kejayaan Imperium Romawi karena berpijak pada prinsip “Ketika di Roma, lakukan seperti orang Romawi”!

No comments:

Post a Comment

Ketika di Roma (2/2)

Jalan Romawi kuno melintasi bentang alam, dari Skotlandia hingga Mesopotamia, Rumania hingga Sahara. Dan jalan Romawi paling awal dibangun u...