Ahli demografi politik, Dr Riwanto Tirtosudarmo menilai bahwa pemerintah Indonesia keliru dalam menangkap aspirasi rakyat Papua akan keadilan. Dirinya juga menyampaikan bahwa rakyat Papua membutuhkan keadilan, dan kebutuhan itu tidak dapat digantikan dengan kesejahteraan.
Hal itu disampaikan Dr Riwanto Tirtosudarmo
dalam diskusi publik, “Imajinasi Orang Papua Sebagai Bangsa (Melanesia)” yang
diselenggarakan daring oleh Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional
atau BRIN, pada Kamis (19/5/2022).
Riwanto
mengatakan Papua membutuhkan keadilan, lantaran selama ini tidak ada kejujuran
dari Indonesia untuk mengakui persoalan yang terjadi di Tanah Papua.
Bukan hanya
itu saja, Riwanto mengatakan bahwa adanya rasa tidak percaya dan rasa takut
dari pemerintah terhadap permasalahan yang terjadi di Papua.
Lebih
lanjut Riwanto menyatakan ada rasa tidak percaya dan rasa takut dari pemerintah
terhadap permasalah yang terjadi di Papua. Akibatnya, pemerintah tidak merespon
tuntutan keadilan yang disuarakan orang Papua, dan terus mewacanakan masalah
kesejahteraan sebagai solusi bagi persoalan Papua.
“Rasa tidak
jujur dan rasa tidak berani untuk menghadapi kenyataan yang ada di Papua. Itu
yang harus secara jujur dihadapi [Indonesia]. Kita tidak bisa membohongi diri
untuk melihat kenyataan itu seolah-olah tidak ada masalah di Papua,” ujarnya.
Riwanto
menegaskan pasca Pepera 1969, realitas politik terbukti tidak menjadikan
Indonesia rumah baru yang aman dan nyaman bagi Orang Asli Papua. Hal itu
membuat keinginan orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa
Papua itu ibarat api di dalam sekam.
“Jadi,
fakta sejarah [Pepera] itu harus dibuka. Yang mereka [Papua] inginkan bukan
kesejahteraan atau kemakmuran, melainkan keadilan,” katanya.
Berbicara
dalam diskusi yang sama, aktivis perempuan dari GARDA Papua, Esther Haluk
menyatakan orang Papua tidak akan memiliki masa depan selama bersama Indonesia.
Hingga kini suara-suara untuk memisahkan Papua dari NKRI semakin kencang,
digencarkan oleh kalangan muda Papua.
Haluk
menyatakan orang Papua tidak memiliki masa depan bersama Indonesia lantaran
masyarakat Papua terus diperlakukan secara tidak adil. Haluk mencontohkan
aparat penegak hukum yang selalu mencurigai orang Papua, termasuk orang Papua
yang menyuarakan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua atau
menggalang bantuan bagi korban pengungsi konflik bersenjata di Papua.
Aktivitas
mereka bahkan kerap dibubarkan aparat keamanan. “Saya terlibat dalam
penggalangan bantuan untuk pengungsi Nduga dan pengungsi di tempat lain.
Tetapi, ketika kami menggalang bantuan, polisi justru datang dan tanya kepada
kami ‘kenapa buat bantuan atau mengkoordinir bantuan, tidak ada pengungsian di
Papua’,” ujarnya.
Haluk
menyatakan negara berusaha mengisolasi persoalan Papua dengan menyangkal
berbagai kasus kekerasan yang terus terjadi di Tanah Papua. “Itu jadi masalah,
dan kami sedang diajarkan, diyakinkan bahwa kekayaan kami yang diinginkan,
tetapi orang Papua tidak diinginkan. Dalam pandangan kami, generasi muda
[Papua], tidak ada masa depan orang Papua dalam bingkai NKRI,” katanya.
Haluk
menyatakan selama ruang demokrasi orang Papua dibungkam, pelanggaran HAM tidak
diselesaikan, dan perlakuan rasis terus terjadi, orang Papua akan semakin
meyakini bahwa Papua memang harus berdiri sebagai bangsa sendiri. “Realita itu
semakin menguatkan iman kami [orang Papua], bahwa kami tidak boleh berada dalam Indonesia,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment