Thursday, July 21, 2022

Pemekaran Papua membuat masyarakat adat makin tersingkir

Akademisi Universitas Musamus Merauke, Yosehi Mekiuw, mengatakan bahwa pemekaran Papua menjadi tiga provinsi baru akan semakin membuat masyarakat adat tersingkir lantaran akan ada eksploitasi sumber daya alam Papua.

Hal itu disampaikan Mekiuw sebagai pembicara dalam diskusi “Pemekaran Daerah Otonom Baru Papua dan Pembangunan” yang diselenggarakan Pusaka Bentala Rakyat secara daring pada selasa (19/7/2022).

Menurut Mekiuw kehadiran pemekaran provinsi baru akan semakin meningkatkan eksploitasi sumber daya alam Papua yang ikut membuat masyarakat adat tersingkir karena hutan merupakan lumbung pangan yakni sagu telah digantikan dengan perkebunan sawit dan lainnya.

Mekiuw menyatakan sebelum pemekaran saja kehidupan masyarakat adat Papua telah kehilangan tempat mencari makan. Misalnya suku Marind Anim harus kehilangan hutan akibat perkebunan sawit dan program MIFFE. Mereka juga tidak bisa menggunakan air-air dari sungai karena sumber air itu telah tercemar oleh polusi aktivitas pabrik.

Mekiuw menyatakan hutan yang merupakan lumbung pangan bagi masyarakat adat Papua secara perlahan tapi pasti mulai habis. Hutan yang dulu menyediakan sagu sebagai karbohidrat serta daging, ikan sebagai protein dan sayur-sayuran mulai digantikan oleh makanan-makanan instan seperti beras, mie instan, maupun biskuit.

“Itu sudah jelas bahwa hutan, tanah, rawa, dusun sagu itu harta, harga diri, dan masa depan serta lumbung pangan dan nafas kehidupan masyarakat adat,” katanya.

Mekiuw menyatakan hilangnya hutan akan menimbulkan persoalan serius bagi masyarakat adat Papua. Ia tidak bisa membayangkan kehidupan masyarakat adat Papua tanpa hutan akibat dari hadirnya pemekaran provinsi baru ini.

Menurut Mekiuw perlu langkah dan kebijakan untuk memproteksi masyarakat adat pasca pemekaran Papua. Hal itu dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan baik itu Peraturan Daerah maupun Peraturan Daerah Khusus tentang proteksi hutan adat, masyarakat dan sumber penghidupannya.

Pemerintah juga harus membuat program pemberdayaan masyarakat yang berbasis kepada budaya masyarakat adat setempat dan mengevaluasi setiap program pemberdayaan masyarakat.

“Anak, cucu kami harus tetap makan sagu,” ujarnya.

Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menyatakan bahwa pemerintah seharusnya melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi khusus yang telah berjalan dengan melibatkan partisipasi dari masyarakat asli Papua. Namun, monitoring maupun evaluasi tidak berjalan.

Pemerintah malah tanpa melibatkan partisipasi masyarakat Papua kemudian melakukan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 2 Tahun 2021 terhadap perubahan kedua Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001.

Bivitri Susanti menyatakan Undang-Undang Otonomi baru ini akan semakin memuluskan keinginan pemerintah untuk kedepannya untuk melakukan pemekaran-pemekaran daerah baru di Papua. Sebab dalam undang-undang otonomi khusus baru itu pemerintah bisa langsung melakukan pemekaran tanpa harus meminta persetujuan dari MRP maupun DPR Papua.

“Memang tidak ada ketentuan [aturan] yang mengatakan seandainya sedang ada undang-undang diuji tidak ada undang-undang lain terkait yang dibuat. Gak ada ketentuan legal formal-nya itu tapi merupakan etika bernegara seharusnya jangan dulu dibuat dulu [UU] daerah otonom baru karena pasal yang menyoal sedang di uji di Mahkamah Konstitusi,” kata dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera tersebut.

 

No comments:

Post a Comment

Ketika di Roma (2/2)

Jalan Romawi kuno melintasi bentang alam, dari Skotlandia hingga Mesopotamia, Rumania hingga Sahara. Dan jalan Romawi paling awal dibangun u...